Sabtu, 23 Juni 2012

Starting Write again....

Setelah sekian lama vakum ngeblog akhirnya saya mencoba menulis lagi,,sebenarnya bayak hal dalam hidup saya yang butuh untuk saya ceritakan,,banyak perubahan,,

sekarang saya telah menjadi seorang santri,,
mungkin saya memang lebih baik hidup di pesantren,,meski tidak semuanya baik baik saja,,saya harus lebih bisa menekan rasa sensitif saya,,dan harus bisa sadar bahwa hidup bersama dalam sebuah privasi yang berbeda itu tidak mudah,,

dimanapun berada,,pasti kita akan bertemu dengan orang2 yang memiliki karakter berbeda,,
ada yang bilang saya menyenangkan,,ada yang bilang saya pendiam,,saya memang punya dua kepribadian,,dan saya berada di duanya,,

saya mau dikritik,,tapi jangan di depan umum,,
saya tahu saya tidak sempurna,,saya belum sepenuhnya dewasa,,saya masih harus banyak untuk berubah,,
saya tahu bahwa tidak semua orang bisa benar2 menerimadan berbuat baik,,  meski kita sudah berusaha sebaik mungkin,,

saya juga tahu bahwa nggak ada yang sempurna,, orang melankolis sekalipun,, (kebanyakan mereka terlalu pendiam dan kurang sosial),,

saya bukan orang yang perfeksionis,,tapi saya orang yang selalu berusaha untuk berubah,,
dan sekarang saya mulai membenci gosip,,
coba kita bayangkan berada di posisi orang yg digospkan,,pasti nggak enak,,

setiap orang nggak ada yg sempurna,, tapi bukan berarti kita membicarakan kekurangan orag lain di belakang kita,,

saya bukanlah orang yang keras,, jadi saya mudah terhanyut,, walaupun saya sebenarnya tidak menyukai hal itu,,minimal saya menyangkalinya di dalam hati,, saja,,

Sabtu, 25 Juni 2011

Lamaranmu kutolak( copas dr note temen)

Mereka, lelaki dan perempuan yang begitu berkomitmen dengan agamanya. Melalui ta’aruf yang singkat dan hikmat, mereka memutuskan untuk melanjutkannya menuju khitbah. Sang lelaki, sendiri, harus maju menghadapi lelaki lain: ayah sang perempuan. 

Dan ini, tantangan yang sesungguhnya. Ia telah melewati deru pertempuran semasa aktivitasnya di kampus, tetapi pertempuran yang sekarang amatlah berbeda. Sang perempuan, tentu saja siap membantunya. Memuluskan langkah mereka menggenapkan agamanya. Maka, di suatu pagi, di sebuah rumah, di sebuah ruang tamu, seorang lelaki muda menghadapi seorang lelaki setengah baya, untuk ‘merebut’ sang perempuan muda, dari sisinya. “Oh, jadi engkau yang akan melamar itu?” tanya sang setengah baya. “Iya, Pak,” jawab sang muda. 

“Engkau telah mengenalnya dalam-dalam? ” tanya sang setengah baya sambil menunjuk si perempuan. “Ya Pak, sangat mengenalnya, ” jawab sang muda, mencoba meyakinkan. 

“Lamaranmu kutolak. Berarti engkau telah memacarinya sebelumnya? Tidak bisa. Aku tidak bisa mengijinkan pernikahan yang diawali dengan model seperti itu!” balas sang setengah baya. 

Si pemuda tergagap, “Enggak kok pak, sebenarnya saya hanya kenal sekedarnya saja, ketemu saja baru sebulan lalu.” 

“Lamaranmu kutolak. Itu serasa ‘membeli kucing dalam karung’ kan, aku tak mau kau akan gampang menceraikannya karena kau tak mengenalnya. Jangan-jangan kau nggak tahu aku ini siapa?” balas sang setengah baya, keras.

Ini situasi yang sulit. Sang perempuan muda mencoba membantu sang lelaki muda. Bisiknya, “Ayah, dia dulu aktivis lho.” 

“Kamu dulu aktivis ya?” tanya sang setengah baya. “Ya Pak, saya dulu sering memimpin aksi demonstrasi anti Orba di Kampus,” jawab sang muda, percaya diri. 

“Lamaranmu kutolak. Nanti kalau kamu lagi kecewa dan marah sama istrimu, kamu bakal mengerahkan rombongan teman-temanmu untuk mendemo rumahku ini kan?” “Anu Pak, nggak kok. Wong dulu demonya juga cuma kecil-kecilan. Banyak yang nggak datang kalau saya suruh berangkat.” 

“Lamaranmu kutolak. Lha wong kamu ngatur temanmu saja nggak bisa, kok mau ngatur keluargamu?” 

Sang perempuan membisik lagi, membantu, “Ayah, dia pinter lho.” “Kamu lulusan mana?” 

“Saya lulusan Teknik Elektro UGM Pak. UGM itu salah satu kampus terbaik di Indonesia lho Pak.” 

“Lamaranmu kutolak. Kamu sedang menghina saya yang cuma lulusan STM ini tho? Menganggap saya bodoh kan?” 

“Enggak kok Pak. Wong saya juga nggak pinter-pinter amat Pak. Lulusnya saja tujuh tahun, IPnya juga cuma dua koma Pak.” 

“Lha lamaranmu ya kutolak. Kamu saja bego gitu gimana bisa mendidik anak-anakmu kelak?” 

Bisikan itu datang lagi, “Ayah dia sudah bekerja lho.” “Jadi kamu sudah bekerja?” “Iya Pak. Saya bekerja sebagai marketing. Keliling Jawa dan Sumatera jualan produk saya Pak.” “Lamaranmu kutolak. Kalau kamu keliling dan jalan-jalan begitu, kamu nggak bakal sempat memperhatikan keluargamu.” 

“Anu kok Pak. Kelilingnya jarang-jarang. Wong produknya saja nggak terlalu laku.” 

“Lamaranmu tetap kutolak. Lha kamu mau kasih makan apa keluargamu, kalau kerja saja nggak becus begitu?” 

Bisikan kembali, “Ayah, yang penting kan ia bisa membayar maharnya.” “Rencananya maharmu apa?”
“Seperangkat alat shalat Pak.”
“Lamaranmu kutolak. Kami sudah punya banyak. Maaf.”
“Tapi saya siapkan juga emas satu kilogram dan uang limapuluh juta Pak.” 

“Lamaranmu kutolak. Kau pikir aku itu matre, dan menukar anakku dengan uang dan emas begitu? Maaf anak muda, itu bukan caraku.” 

Bisikan, “Dia jago IT lho Pak”
“Kamu bisa apa itu, internet?”
“Oh iya Pak. Saya rutin pakai internet, hampir setiap hari lho Pak saya nge-net.” 

“Lamaranmu kutolak. Nanti kamu cuma nge-net thok. Menghabiskan anggaran untuk internet dan nggak ngurus anak istrimu di dunia nyata.” 
“Tapi saya ngenet cuma ngecek imel saja kok Pak.” 

“Lamaranmu kutolak. Jadi kamu nggak ngerti Facebook, Blog, Twitter, Youtube? Aku nggak mau punya mantu gaptek gitu.”
Bisikan, “Tapi Ayah…”
“Kamu kesini tadi naik apa?” “Mobil Pak.” 

“Lamaranmu kutolak. Kamu mau pamer tho kalau kamu kaya. Itu namanya Riya’. Nanti hidupmu juga bakal boros. Harga BBM kan makin naik.”
“Anu saya cuma mbonceng mobilnya teman kok Pak. Saya nggak bisa nyetir” 

“Lamaranmu kutolak. Lha nanti kamu minta diboncengin istrimu juga? Ini namanya payah. Memangnya anakku supir?”

Bisikan, “Ayahh..”
“Kamu merasa ganteng ya?” “Nggak Pak. Biasa saja kok” “Lamaranmu kutolak. Mbok kamu ngaca dulu sebelum melamar anakku yang cantik ini.” “Tapi pak, di kampung, sebenarnya banyak pula yang naksir kok Pak.” 

“Lamaranmu kutolak. Kamu berpotensi playboy. Nanti kamu bakal selingkuh!” 

Sang perempuan kini berkaca-kaca, “Ayah, tak bisakah engkau tanyakan soal agamanya, selain tentang harta dan fisiknya?” 

Sang setengah baya menatap wajah sang anak, dan berganti menatap sang muda yang sudah menyerah pasrah. 
“Nak, apa adakah yang engkau hapal dari Al Qur’an dan Hadits?” 

Si pemuda telah putus asa, tak lagi merasa punya sesuatu yang berharga. Pun pada pokok soal ini ia menyerah, jawabnya, “Pak, dari tiga puluh juz saya cuma hapal juz ke tiga puluh, itupun yang pendek-pendek saja. Hadits-pun cuma dari Arba’in yang terpendek pula.” 

Sang setengah baya tersenyum, “Lamaranmu kuterima anak muda. Itu cukup. Kau lebih hebat dariku. Agar kau tahu saja, membacanya saja pun, aku masih tertatih.”

Mata sang muda ikut berkaca-kaca.

****

(ayah...izinkan aku menikah dengan orang yang bisa membimbing anakmu menuju Ridho-Nya, bukan hanya untuk kebahagiaan dunia semata)


dari byk sumber ^__^

Sabtu, 11 Juni 2011

Menjemput Ramadhan

Allahumma baariklanaa fie Rajab wa Sya'ban wabalighnaa Ramadhan "اللهم بارك لنا في رجب وشعبان وبلغنا رمضان" : Yaa الله berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya'ban dan pertemukan kami dgn Ramadhan..

Surat Anak Indonesia Membuat Jepang Terharu

"Saya juga pernah kena gempa tahun 2006, saya kehilangan rumah dan tidak mempunyai ibu."



VIVAnews - Duta Besar Jepang untuk Indonesia yang baru, Yoshinori Katori, mengaku sangat terharu dengan simpati yang diberikan anak-anak Indonesia kepada Jepang terkait bencana tsunami yang baru saja menghantam negara itu Maret lalu.

"Kami menerima banyak sekali dukungan dari masyarakat Indonesia. Banyak sekali anak-anak Indonesia yang mengirimkan surat berisi dukungan yang sangat menyentuh hati kami," kata Katori.

Dalam konferensi pers pertamanya sebagai duta besar, kemarin, Katori membacakan sebuah surat yang dikirimkan oleh para pelajar sebuah SMP di Aceh kepada para korban tsunami. Aceh sendiri pernah diterjang tsunami pada 2004 silam, lebih dari 120.000 orang tewas.

"Aceh mencintai kalian. Kalian tak sendiri. Jika kalian sedih, kami turut sedih. Jika kalian senang, kami turut senang. Jika kalian tertawa, kami turut tertawa. Tetap semangat! Gambare!" ujar Katori membacakan surat dari pelajar Aceh.

Surat simpati juga datang dari seorang bocah korban gempa bumi Yogyakarta 2006 lampau. Bocah ini adalah salah satu anak di panti asuhan Arrahmah di Yogya. Katori kembali membacakan surat tersebut.

"Saya juga pernah kena gempa tahun 2006, waktu itu saya kehilangan rumah dan tidak mempunyai ibu," kata dia.

"Walaupun cobaan datang, kami masih tetap semangat untuk belajar. Kami yakin, kalian juga bisa membangun rumah kalian. Pesan saya untuk kalian: tetap semangat dan tunjukkan kalian bisa membangun negara kalian!" Tulis surat tersebut.

Gempa bumi 9 skala Richter disusul tsunami meluluhlantakkan wilayah timur Jepang. Korban tewas dilaporkan mencapai puluhan ribu orang. Menurut data World Bank, total kerugian yang dialami oleh Jepang adalah US$235 miliar atau sekitar Rp2.000 triliun, yang menjadikan bencana Jepang sebagai bencana termahal sepanjang sejarah. (umi)

-sumber : Viva news

Kamis, 09 Juni 2011

Merpati Tak Lagi Terbang Tinggi

Sumber : gugundesign.wordpress.com

Kisah ta’arufku hampir enam tahun silam masih membekas di benak. Sungguh, kalau ingat saat itu aku merasa menjadi orang paling konyol di dunia, sekaligus merasa jadi orang paling beruntung. Saat ta’aruf, saat hendak menikah, saat hari H pernikahan, semua menyisakan kenangan lucu dan konyol. Bahkan aku tak tahu hari pernikahanku.
Panggil aku Sofi, anak ke 6 dari 7 bersaudara. Hidupku dipenuhi kasih sayang dan bermanja-manja. Tapi orang tuaku juga mengajarkan kami sikap mandiri dan bekerja keras serta sikap peduli dan menolong. Orangtuaku tak membedakan anak laki-laki dan perempuan. Tugas di ladang yang terletak di lereng bukit dibagi bertujuh. Tentunya sesuai kemampuan kami. Pun saat sumur kering, kami biasa bersama-sama mengambil air di sungai di bawah bukit yang lumayan jauh. Tapi kami senang melakukannya. Sebab sambil bekerja, bapak juga mengajak kami bermain disela-selanya.
Mungkin kebiasaan naik turun bukit itu, yang kemudian hari menguatkan jiwa petualanganku naik turun gunung. Aku diantara saudara perempuanku memang paling tomboy dan bandel. Tapi masih sebagaimana umumnya kenakalan anak-anak, tak sampai ke hal negatif. Saat SMU hobi naik turun gunungku masih menggila. Awalnya orang tua sering melarang, bahkan aku kena marah. Tapi akhirnya orangtuaku menyerah menasehatiku untuk berhenti naik gunung. Apalagi setelah sering melihat aku baik-baik saja dengan hobiku, mereka membiarkanku, tapi memintaku untuk berhati-hati. Aku senang main, sebaliknya akupun menjaga kepercayaan mereka.
Oya, aku tinggal di lingkungan yang Alhamdulillah bagus. Keluargaku muslim rajin sholat. Sementara banyak tetangga di desaku yang pria bercelana gantung dan wanitanya berjubah serta bercadar, aku menganggap mereka aneh. Namun aku akrab dengan akhwat-akhwatnya. Yang pada akhirnya setelah menikah kelak, aku tahu mereka itu bermanhaj salaf. Hidayah memang belum datang padaku, saat itu akupun belum berjilbab bahkan dalam keluargaku banyak bid’ah dan syirik.
Seiring waktu, lulus SMU, aku mulai berjilbab kecil. Aku masih tomboy dan tetap rajin naik gunung. Tak berapa lama, aku mendapat tawaran dari seorang tetangga bekerja di Batam. Si tetangga sudah lama disana. Kebetulan pula beberapa anak Pak Dhe dan Omku juga mengais rizki disana. Kupikir apa salahnya mencari pengalaman? Atas ijin ortu aku berangkat. Di Batam hobi naik gunungku makin menggila, bahkan hingga Sumatra dan Kalimantan. Bila kerja libur, aku berpetualang. Selain itu aku mulai rajin ngaji di ta’lim yang diadakan sesama karyawan.
6 tahun di Batam, aku pulang ke Jawa. Aku masih saja ke gunung. Hingga suatu sore Bapak bilang, “Kamu mau dilamar nduk! Besok ada yang mau datang ketemu”. Aku tak terkejut, malah tertawa ngakak, hingga bapak mencubitku. Dan aku bilang ke Bapak, “Jam berapa pak? Pagi atau siang, soalnya Sofi mau naik gunung. “Lagi-lagi bapak mencubitku, ”Dasar otak gunung”, ujarnya sambil berlalu. Ada yang tahu perasaanku saat itu? Datar dan biasa saja. Bahagia? Entah. Aku tak merasakan apa-apa. Bahkan, penasaran siapa laki-laki yang hendak melamarku pun tidak. Bahkan saat kakak dan adikku meledek, aku biasa saja. Maklum, selama ini sosok makhluk bernama “laki-laki” tak pernah ada di otakku, pacaran pun aku tak pernah. Naksir cowok? Jauh dari daftar acaraku, tapi itu bukan berarti aku tak punya teman laki-laki lho…,

Esok yang dijanjikan pun tiba. Kakak-kakak dan adikku heboh mengintip, tapi aku biasa saja. Hingga bapak memanggilku ke ruang tamu. Aku memakai baju gunungku, kupikir aku tampak percaya diri dan gagah, bagiku itu pakaian terbagus dari pada rok panjang yang ribet. Kubiarkan ibu dan kakak-kakakku ngomel karena aku tak mau memakai “pakaian feminim” yang sudah susah payah disiapkan.
Masuk ruang tamu, aku tak berani menatap yang hadir. Aku duduk dekat Bapak. Mukaku seperti udang rebus dan ini baru terjadi sekali dalam hidupku. “Gimana Sof, kamu mau? “Bapak memecah kebekuan. Aku hanya menunduk dari tadi. Diam. Tak menjawab Bapak. Mataku justru sibuk melihat kaki pelamarku. Kaki yang putih dan bersih. Hingga Bapak menyentuh punggungku. Karena terkejut aku tak bisa mengontrol ucapanku “Putih Pak, aku mau!” Astaghfirullah,,, ini akibat mata yang diumbar. Ruang tamu dipenuhi tawa tertahan keluarga besarku. Aku tak tahu, apa yang ada di benak pelamarku tentang aku … ah masa bodo ….

Tak sampai seminggu setelah lamaran, Bapak menemuiku. Saat itu hari Rabu, aku tengah bersiap untuk mendaki ke gunung Semeru. Bapak bilang aku harus mengurus surat nikah, karena hari Senin depan aku menikah. Aku protes karena aku tak diberi tahu sebelumnya. Padahal setahuku, pelamarku itu cuma datang sekali kerumah. Rupanya Mas Hari, ikhwan tetangga, yang jadi perantara dengan Bapak. Aku ngotot naik gunung meski keluargaku melarang. Aku berjanji insya Allah hari Minggu sudah kembali ke rumah. Bapak kecewa dengan keputusanku, tapi saat aku pamit Bapak tertawa dan mencubitku. Bapak bilang,
“Sebentar lagi, otak gunungmu akan hilang” Hmmm … benarkah ?
Minggu sore, aku pulang disambut omelan ibu. Karena was-was. Tapi Bapak adem adem saja. Justru yang malah marah Pak Dhe dan Embah. Tak cuma ngomel padaku, tapi juga pada Bapak dan Ibu, karena tak memingitku. Sebagaimana tradisi di daerahku, orang yang mau jadi pengantin tak boleh keluar rumah. Sedang aku? he … he…

Begitulah, tenda biru telah didirikan sehari sebelum aku turun gunung. Bila ada tamu datang, mereka mencari calon pengantin. Bapak dan ibu bilang sedang naik gunung. Maka tamu pun bingung dan berkomentar ini itu. Itu sebagian kekonyolan menjelang pernikahanku.
Hari itu pun tiba. Akad nikah dibalik tabir itu berlangsung khidmat. Tak terasa airmata menetes saat ijab kabul, bahkan Bapakpun menangis. Demi Allah, aku merasa bahagia luar biasa. Kemarin aku masih seperti merpati, bebas kemana saja, beberapa jam kemudian ternyata aku sudah terikat pernikahan. Subhanalloh. Setelah ijab kabul, aku diminta tanda tangan buku nikah. Kudengar dari balik tabir Bapak meminta seorang laki-laki masuk dengan membawa buku nikah keruang aku dan keluarga besarku serta tamu undangan wanita. Itulah untuk pertama kalinya. Aku melihat jelas wajah suamiku. Putih seperti kakinya dan tampak dengan jenggot lebat yang rapi. Aku merasa tiba-tiba jatuh cinta!! Tengah dimabuk asmara, aku tak berhenti mencuri pandang padanya. Namun apa yang terjadi?? Deg-degan menanti, mas Hasan suamiku – bukan ke tempat dudukku malah dengan pedenya menyambangi tempat duduk adikku, sambil menyerahkan buku nikah. Serempak orang diruang itu berteriak. “Salah mas, pengantinnya bukan yang itu, tapi ini”. Kulihat muka mas Hasan bersemu merah. Ia tampak malu dan menahan tawa sambil menuju ke arahku. Ruang yang penuh dengan kebahagiaan kian semarak dengan gelak tawa.

Wajahku dan adikku memang mirip. Saat kejadian itu, ia berdandan dengan baju payet indah yang seharusnya kupakai saat itu, tapi aku lebih memilih memakai jubah dan kerudung kecil sederhana hingga tak mencolok seperti adikku. Eh, malah jadi keliru … Alhamdulillah, akhirnya aku resmi jadi istri.
Setelah menikah hidupku berubah. Kini telah kutempuh manhaj mulia ini atas bimbingan mas Hasan dan tentunya hidayah Allah pula. Tak lupa kuucapkan terima kasih pada mas Hari dan istri yang telah berani merekomendasikan aku pada calon suamiku, padahal aku masih jahil saat itu. Semua itu mereka lakukan karena sayang dan kasihan padaku yang sering berpetualangan, rencana nikah 3 bulan ke depan dimajukan lima hari setelah lamaran!! Saat pernikahan pun berlangsung tanpa musik dan syar’i.

Alhamdulillah, bapak bisa diajak kerjasama oleh mas Hari dan mas Hasan, Lagi pula bapak juga ingin aku berhenti berpetulangan dan sangat setuju aku menikah.
Kini aku hamil 5 bulan anak keduaku. Aisyah anak pertamaku mulai masuk TK, Alhamdulillah aku hidup bahagia serta tak henti kusyukuri Allah memberiku suami yang mencintaiku karena-NYA dari sejak berjumpa. Bahkan kini, Bapak pun menempuh manhaj Salaf. Sekali lagi, tak henti kuucap syukur pada Allah atas semua ini. (Ummu Zubair)
Dari Majalah Qiblati
Sumber : gugundesign.wordpress.com

Minggu, 05 Juni 2011

Riba dalam Islam

Istilah dan persepsi mengenai riba begitu hidupnya di dunia Islam. Oleh karenanya, terkesan seolah-olah doktrin riba adalah khas Islam. Orang sering lupa bahwa hukum larangan riba, sebagaimana dikatakan oleh seorang Muslim Amerika, Cyril Glasse, dalam buku ensiklopedinya, tidak diberlakukan di negeri Islam modern manapun. Sementara itu, kebanyakan orang tidak mengetahui bahwa di dunia Kristenpun, selama satu milenium, riba adalab barang terlarang dalam pandangan theolog, cendekiawan maupun menurut undang-undang yang ada.

Di sisi lain, kita dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa praktek riba yang merambah ke berbagai negara ini sulit diberantas, sehingga berbagai penguasa terpaksa dilakukan pengaturan dan pembatasan terhadap bisnis pembungaan uang. Perdebatan panjang di kalangan ahli fikih tentang riba belum menemukan titik temu. Sebab mereka masing-masing memiliki alasan yang kuat. Akhirnya timbul berbagai pendapat yang bermacam-macam tentang bunga dan riba.

Pengertian Riba
Kata Ar-Riba adalah isim maqshur, berasal dari rabaa yarbuu, yaitu akhir kata ini ditulis dengan alif. Asal arti kata riba adalah ziyadah ‘tambahan’; adakalanya tambahan itu berasal dari dirinya sendiri, seperti firman Allah swt:

(ihtazzat wa rabat) “maka hiduplah bumi itu dan suburlah.” (QS Al-Hajj: 5).
Dan, adakalanya lagi tambahan itu berasal dari luar berupa imbalan, seperti satu dirham ditukar dengan dua dirham.

Hukum Riba
Riba, hukumnya berdasar Kitabullah, sunnah Rasul-Nya dan ijma’ umat Islam:

Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka permaklumkanlah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kami tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS Al-Baqarah: 278-279).

Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (QS Al-Baqarah: 275).

Allah memusnahkan riba dan menyuburkan shadaqah.” (QS Al-Baqarah: 276).

Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda, “Jauhilah tujuh hal yang membinasakan.” Para sahabat bertanya, “Apa itu, ya Rasulullah?” Jawab Beliau, “(Pertama) melakukan kemusyrikan kepada Allah, (kedua) sihir, (ketiga) membunuh jiwa yang telah haramkan kecuali dengan cara yang haq, (keempat) makan riba, (kelima) makan harta anak yatim, (keenam) melarikan diri pada hari pertemuan dua pasukan, dan (ketujuh) menuduh berzina perempuan baik-baik yang tidak tahu menahu tentang urusan ini dan beriman kepada Allah.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari V: 393 no: 2766, Muslim I: 92 no: 89, ‘Aunul Ma’bud VIII: 77 no: 2857 dan Nasa’i VI: 257).

Dari Jabir ra, ia berkata. “Rasulullah saw melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, dua saksinya dan penulisnya.” Dan Beliau bersabda, “Mereka semua sama.” (Shahih: Mukhtasar Muslim no: 955, Shahihul Jami’us Shaghir no: 5090 dan Muslim III: 1219 no: 1598).

Dari Ibnu Mas’ud ra bahwa Nabi saw bersabda, “Riba itu mempunyai tujuh puluh tiga pintu, yang paling ringan (dosanya) seperti seorang anak menyetubuhi ibunya.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3539 dan Mustadrak Hakim II: 37).

Dari Abdullah bin Hanzhalah ra dari Nabi saw bersabda, “Satu Dirham yang riba dimakan seseorang padahal ia tahu, adalah lebih berat daripada tiga puluh enam pelacur.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3375 dan al-Fathur Rabbani XV: 69 no: 230).

Dari Ibnu Mas’ud ra dari Nabi saw, Beliau bersabda, “Tak seorang pun memperbanyak (harta kekayaannya) dari hasil riba, melainkan pasti akibat akhirnya ia jatuh miskin.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 5518 dan Ibnu Majah II: 765 no: 2279).

Klasifikasi Riba
Riba ada dua macam yaitu riba nasiah dan riba fadhl.
Adapun yang dimaksud riba nasiah ialah tambahan yang sudah ditentukan di awal transaksi, yang diambil oleh si pemberi pinjaman dari orang yang menerima pinjaman sebagai imbalan dari pelunasan bertempo. Riba model ini diharamkan oleh Kitabullah, sunnah Rasul-Nya, dan ijma’ umat Islam.

Sedangkan yang dimaksud riba fadhl adalah tukar menukar barang yang sejenis dengan ada tambahan, misalnya tukar menukar uang dengan uang, menu makanan dengan makanan yang disertai dengan adanya tambahan.

Riba model kedua ini diharamkan juga oleh sunnah Nabi saw dan ijma’ kaum Muslimin, karena ia merupakan pintu menuju riba nasiah.

Beberapa Barang yang padanya Diharamkan Melakukan Riba
Riba tidak berlaku, kecuali pada enam jenis barang yang sudah ditegaskan nash-nash syar’i berikut:

Dari Ubaidah bin Shamir ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “(Boleh menjual emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir (sejenis gandum) dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sebanding, sama dan tunai, tetapi jika berbeda jenis, maka juallah sesukamu, apabila tunai dengan tunai.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 949, dan Muslim III: 1211 no: 81 dan 1587).

Dengan demikian, apabila terjadi barter barang yang sejenis dari empat jenis barang ini, yaitu emas ditukar dengan emas, tamar dengan tamar, maka haram tambahannya baik secara riba fadhl maupun secara riba nasiah, harus sama baik dalam hal timbangan maupun takarannya, tanpa memperhatikan kualitasnya bermutu atau jelek, dan harus diserahterimakan dalam majlis.

Dari Abi Sa’id al-Khudri ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Janganlah kamu menjual emas kecuali sama, janganlah kamu tambah sebagiannya atas sebagian yang lain, janganlah kamu menjual perak dengan perak kecuali sama, janganlah kamu tambah sebagiannya atas sebagian yang lain, dan janganlah kamu menjual emas dan perak yang barang-barangnya belum ada dengan kontan.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 379 no: 2177, Muslim III: 1208 no: 1584, Nasa’i VII: 278 dan Tirmidzi II: 355 no: 1259 sema’na).

Dari Umar bin Khattab ra bahwa Rasulullah saw bersabda. “Emas dengan emas adalah riba kecuali begini dengan begini (satu pihak mengambil barang, sedang yang lain menyerahkan) bur dengan bur (juga) riba kecuali begini dengan begini, sya’ir dengan sya’ir riba kecuali begini dengan begini, dan tamar dengan tamar adalah riba kecuali begini dengan begini.” (Muttafaqun’alaih: Fathul Bahri IV: 347 no: 2134, dan lafadz ini bagi Imam Bukhari, Muslim III: 1209 no: 1586, Tirmidzi II: 357 no: 1261, Nasa’i VII: 273 dan bagi mereka lafadz pertama memakai adz-dzahabu bil wariq (emas dengan perak) dan Aunul Ma’bud IX: 197 no: 3332 dengan dua model lafadz).

Dari Abu Sa’id ra, ia bertutur: Kami pada masa Rasulullah saw pernah mendapat rizki berupa tamar jama’, yaitu satu jenis tamar, kemudian kami menukar dua sha’ tamar dengan satu sha’ tamar. Lalu kasus ini sampai kepada Rasulullah saw maka Beliau bersabda, “Tidak sah (pertukaran) dua sha’ tamar dengan satu sha’ tamar, tidak sah (pula) dua sha’ biji gandum dengan satu sha’ biji gandum, dan tidak sah (juga) satu Dirham dengan dua Dirham.” (Muttafaqun ’alaih: Muslim III: 1216 no: 1595 dan lafadz ini baginya, Fathul Bari IV: 311 no: 2080 secara ringkas dan Nasa’i VII: 272).

Manakala terjadi barter di antara enam jenis barang ini dengan lain jenis, seperti emas ditukar dengan perak, bur dengan sya’ir, maka boleh ada kelebihan dengan syarat harus diserahterimakan di majlis:
Berdasar hadits Ubadah tadi:

…tetapi jika berlainan jenis maka juallah sesukamu, apabila tunai dengan tunai.”
Dalam riwayat Imam Abu Daud dan lainnya dari Ubadah ra Nabi saw bersabda: “Tidak mengapa menjual emas dengan perak dan peraknya lebih besar jumlahnya daripada emasnya secara kontan, dan adapun secara kredit, maka tidak boleh; dan tidak mengapa menjual bur dengan sya’ir dan sya’irnya lebih banyak daripada burnya secara kontan dan adapun secara kredit, maka tidak boleh.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil V: 195 dan ‘Aunul Ma’bud IX: 198 no: 3333).

Apabila salah satu jenis di antara enam jenis ini ditukar dengan barang yang berlain jenis dan ‘illah ‘sebab’, seperti emas ditukar dengan bur, atau perak dengan garam, maka boleh ada kelebihan atau secara bertempo, kredit:
Dari Aisyah ra bahwa Nabi saw pernah membeli makanan dari seorang Yahudi secara bertempo, sedangkan Nabi saw menggadaikan sebuah baju besinya kepada Yahudi itu. (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1393 dan Fathul Bari IV: 399 no: 2200).

Dalam kitab Subulus Salam III: 38, al-Amir ash-Sha’ani menyatakan. “Ketahuilah bahwa para ulama’ telah sepakat atas bolehnya barang ribawi (barang yang bisa ditakar atau ditimbang, edt) ditukar dengan barang ribawi yang berlainan jenis, baik secara bertempo meskipun ada kelebihan jumlah atau berbeda beratnya, misalnya emas ditukar dengan hinthah (gandum), perak dengan gandum, dan lain sebagainya yang termasuk barang yang bisa ditakar.”

Namun, tidak boleh menjual ruthab (kurma basah) dengan kurma kering, kecuali para pemilik ‘ariyah, karena mereka adalah orang-orang yang faqir yang tidak mempunyai pohon kurma, yaitu mereka boleh membeli kurma basah dari petani kurma, kemudian mereka makan dalam keadaan masih berada di pohonnya, yang mereka taksir, mereka menukarnya dengan kurma kering.

Dari Abdullah bin Umar ra, bahwa Rasulullah saw melarang muzabanah. Muzabanah ialah menjual buah-buahan dengan tamar secara takaran, dan menjual anggur dengan kismis secara takaran. (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 384 no: 2185, Muslim III: 1171 no: 1542 dan Nasa’i VII: 266)

Dari Zaid bin Tsabit ra bahwa Rasulullah saw memberi kelonggaran kepada pemilik ‘ariyyah agar menjualnya dengan tamar secara taksiran. (Muttafaqun‘alaih: Muslim III: 1169 no: 60 dan 1539 dan lafadz ini baginya dan sema’na dalam Fathul Bari IV: 390 no: 2192, ‘Aunul Ma’bud IX: 216 no: 3346, Nasa’i VII: 267, Tirmidzi II: 383 no: 1218 dan Ibnu Majah II: 762 no: 2269).
Sesungguhnya Nabi saw melarang menjual kurma basah dengan tamar hanyalah karena kurma basah kalau kering pasti menyusut.

Dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra bahwa Nabi saw pernah ditanya perihal menjual kurma basah dengan tamar. Maka Beliau (balik) bertanya, “Apakah kurma basah itu menyusut apabila telah kering?” Jawab para sahabat, “Ya, menyusut.” Maka Beliaupun melarangnya. (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1352, ‘Aunul Ma’bud IX: 211 no: 3343, Ibnu Majah II: 761 no: 2264, Nasa’i VII: 269 dan Tirmidzi II: 348 no: 1243).

Dan, tidak sah jual beli barang ribawi dengan yang sejenisnya sementara keduanya atau salah satunya mengandung unsur lain.

Riwayat Fadhalah bin Ubaid yang menjadi landasan kesimpulan ini dimuat juga dalam Mukhtashar Nailul Authar hadits no: 2904. Imam Asy-Syaukani, memberi komentar sebagai berikut, “Hadits ini menunjukkan bahwa tidak boleh menjual emas yang mengandung unsur lainnya dengan emas murni hingga unsur lain itu dipisahkan agar diketahui ukuran emasnya, demikian juga perak dan semua jenis barang ribawi lainnya, karena ada kesamaan illat, yaitu haram menjual satu jenis barang dengan sejenisnya secara berlebih.”

Dari Fadhalah bin Ubaid ia berkata: “Pada waktu perang Khaibar aku pernah membeli sebuah kalung seharga dua belas Dinar sedang dalam perhiasan itu ada emas dan permata, kemudian aku pisahkan, lalu kudapatkan padanya lebih dari dua belas Dinar, kemudian hal itu kusampaikan kepada Nabi saw, Maka Beliau bersabda, ‘Kalung itu tidak boleh dijual hingga dipisahkan.’” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1356, Muslim III: 1213 no: 90 dan 1591, Tirmidzi II: 363 no: 1273, ‘Aunul Ma’bud IX: 202 no: 3336 dan Nasa’i VII: 279).

Islam bersikap sangat keras dalam persoalan riba semata-mata demi melindungi kemaslahatan manusia, baik dari segi akhlak, masyarakat maupun perekonomiannya.Kiranya cukup untuk mengetahui hikmahnya seperti apa yang dikemukakan oleh Imam ar-Razi dalam tafsir Qurannya sebagai berikut:

1. Riba adalah suatu perbuatan mengambil harta kawannya tanpa ganti. Sebab orang yang meminjamkan uang 1 dirham dengan 2 dirham, misalnya, maka dia dapat tambahan satu dirham tanpa imbalan ganti. Sedang harta orang lain itu merupakan standard hidup dan mempunyai kehormatan yang sangat besar, seperti apa yang disebut dalam hadis Nabi Muhammad SAW:

2. "Bahwa kehormatan harta manusia, sama dengan kehormatan darahnya."Oleh karena itu mengambil harta kawannya tanpa ganti, sudah pasti haramnya.

3. Bergantung kepada riba dapat menghalangi manusia dari kesibukan bekerja. Sebab kalau si pemilik uang yakin, bahwa dengan melalui riba dia akan beroleh tambahan uang, baik kontan ataupun berjangka, maka dia akan memudahkan persoalan mencari penghidupan, sehingga hampir-hampir dia tidak mau menanggung beratnya usaha, dagang dan pekerjaan-pekerjaan yang berat. Sedang hal semacam itu akan berakibat terputusnya bahan keperluan masyarakat. Satu hal yang tidak dapat disangkal lagi bahwa kemaslahatan dunia seratus persen ditentukan oleh jalannya perdagangan, pekerjaan, perusahaan dan pembangunan.(Tidak diragukan lagi, bahwa hikmah ini pasti dapat diterima, dipandang dari segi perekonomian).

4. Riba akan menyebabkan terputusnya sikap yang baik (ma'ruf) antara sesama manusia dalam bidang pinjam-meminjam. Sebab kalau riba itu diharamkan, maka seseorang akan merasa senang meminjamkan uang satu dirham dan kembalinya satu dirham juga. Tetapi kalau riba itu dihalalkan, maka sudah pasti kebutuhan orang akan menganggap berat dengan diambilnya uang satu dirham dengan diharuskannya mengembalikan dua dirham. Justru itu, maka terputuslah perasaan belas-kasih dan kebaikan. (Ini suatu alasan yang dapat diterima, dipandang dari segi etika).

5. Pada umumnya pemberi piutang adalah orang yang kaya, sedang peminjam adalah orang yang tidak mampu. Maka pendapat yang membolehkan riba, berarti memberikan jalan kepada orang kaya untuk mengambil harta orang miskin yang lemah sebagai tambahan. Sedang tidak layak berbuat demikian sebagai orang yang memperoleh rahmat Allah. (Ini ditinjau dari segi sosial).

Ini semua dapat diartikan, bahwa dalam riba terdapat unsur pemerasan terhadap orang yang lemah demi kepentingan orang kuat (exploitasion de l'home par l'hom) dengan suatu kesimpulan: yang kaya bertambah kaya, sedang yang miskin tetap miskin. Hal mana akan mengarah kepada membesarkan satu kelas masyarakat atas pembiayaan kelas lain, yang memungkinkan akan menimbulkan golongan sakit hati dan pendengki; dan akan berakibat berkobarnya api pertentangan di antara anggota masyarakat serta membawa kepada pemberontakan oleh golongan ekstrimis dan kaum subversi.

Nasihat Untuk Kematian

Aku tertawa heran kepada orang yang mengejar dunia, padahal kematian terus mengincarnya.. Dan kepada orang yang melalaikan kematian, padahal maut tak pernah sedikitpun lalai darinya.. Dan kepada orang yg tertawa lebar sepenuh mulutnya, padahal tidak tau apakah Allahnya Ridho atau Murka terhadapnya..
-- Salman Al Farisi --